Legitimasi Demokrasi Undang-undang yang Dikebut pada Masa 'Lame Duck' Dipertanyakan
Sejumlah pakar mengkhawatirkan pembahasan dan pengesahan sejumlah rancangan undang-undang (RUU) di masa lame duck.
Lame Duck adalah istilah yang dipopulerkan bagi pejabat petahana yang masih menjabat dan menggunakan kewenangan mereka, meski Pemilu sudah usai dan tak terpilih lagi, seperti yang dijelaskan Azeem Amedi, akademisi hukum dari York University dalam tulisannya, Lame Duck: Penyalahgunaan Wewenang di Masa Jeda.
Pada tulisannya dua tahun yang lalu itu, Azeem sudah mengingatkan potensi terjadinya lame duck setelah Pemilu 2024, karena ada tenggang waktu antara selesainya waktu pemilu dan pelantikan administrasi yang baru.
Azeem menilai, lame duck yang tidak diatur akan menimbulkan konsekuensi yang cenderung merugikan rakyat.
"UU yang dibuat di masa lame duck memiliki legitimasi demokrasi yang patut dipertanyakan, karena pejabat yang sedang dalam lame duck itu tidak terpilih lagi untuk periode selanjutnya ... secara politik, rakyat sudah menarik mandatnya dari mereka, jadi mereka tidak lagi mewakili siapa pun," ujar Azeem kepada ABC Indonesia.
Berikut ini sejumlah rancangan undang-undang yang cenderung merugikan rakyat:
- Putusan MA tentang batas usia calon kepala daerah
- RUU TNI
- RUU Polri
- RUU Kementerian Negara
- RUU Mahkamah Konstitusi
Aturan pencalonan kepala daerah
Tiga hari. Itu waktu yang diperlukan Mahkamah Agung untuk mengubah aturan batas minimal calon kepala daerah.
Uji materi terhadap aturan yang diajukan oleh Ketua Umum Partai Garda Pembangunan Indonesia (Garuda) itu mulai diproses pada 27 Mei dan diputus pada 29 Mei 2024.
Isi putusannya, MA memerintahkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk mencabut Pasal 4 Ayat 1 huruf d PKPU Nomor 9 tentang pencalonan kepala daerah.
Itu artinya seseorang dapat mencalonkan diri sebagai calon gubernur dan wakil gubernur berusia minimal 30 tahun ketika dilantik, bukan ketika ditetapkan sebagai pasangan calon.
Sementara untuk calon bupati dan wakilnya, serta calon wali kota dan wakilnya, minimal berusia 25 tahun saat dilantik.
Putusan ini dinilai beberapa pengamat dan akademisi sebagai manuver memberi jalan Ketua Partai Solidaritas Indonesia (PSI) sekaligus anak bungsu Presiden Joko Widodo, Kaesang Pangarep, bersaing dalam Pemilihan Kepala Daerah Serentak 2024.
Adik dari wapres terpilih Gibran Rakabuming Raka itu baru genap berusia 30 tahun pada 25 Desember 2024.
Sementara, sebelumnya, Ketua DPP PSI William Aditya Sarana mengatakan, partainya membuka peluang untuk mengusung ketua umumnya menjadi Calon Gubernur DKI Jakarta dalam Pilkada 2024 "kalau administratifnya bisa terpenuhi."
"Putusan MA ini salah," kata mantan Menkopolhukam Mahfud MD.
"Kalau dibilang [aturan tentang umur ini] bertentangan, bertentangan dengan yang mana? Karena peraturan KPU sudah benar dan sesuai Undang-undang."
Mahfud, yang pernah menjadi Ketua Mahkamah Konstitusi, menilai MA telah jauh melampaui kewenangannya karena jika KPU menjalankan putusan MA, itu berarti MA membatalkan isi Undang-undang.
Padahal menurut konstitusi Indonesia, MA tidak boleh melakukan judicial review atau membatalkan isi Undang-undang.
"Kalau isi Undang-undang mau dibatalkan, hanya ada dua caranya. Yang pertama melalui legislative review, atau judicial review oleh Mahkamah Konstitusi, bukan Mahkamah Agung, ... atau melalui Perpu kalau darurat," ujar Mahfud.
"Negara ini cara berhukumnya sudah rusak dan dirusak, sudah busuk, tambah busuk sampai pada akhirnya kebusukan itu akan runtuh sendiri, suatu saat nanti."
"Kalau yang begini-begini mau diteruskan, ya sudah silakan saja, apa yang mau kamu lakukan ya lakukan saja, mumpung Anda masih punya posisi untuk melakukan itu, tapi suatu saat itu akan bisa memukul dirinya sendiri ketika orang lain menggunakan cara sakti yang sama."
Tapi bukan cuma perubahan aturan usia calon kepala daerah yang terjadi di sisa waktu menjelang pelantikan presiden yang baru.
RUU TNI
UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI dan UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri (RUU TNI dan RUU Polri) tidak masuk dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas).
Tapi hanya dalam hitungan hari DPR menyetujui untuk merevisinya.
Badan Legislasi DPR mengatakan revisi diusulkan untuk menindaklanjuti putusan MK.
DPR mengusulkan perubahan Pasal 53 yang mengatur usia pensiun anggota TNI dengan menambah usia dinas sampai dengan 60 tahun bagi perwira, serta 58 tahun bagi bintara dan tamtama, serta prajurit yang menduduki jabatan fungsional bisa berdinas hingga usia 65 tahun.
Khusus untuk perwira tinggi bintang empat, masa keprajuritan bisa diperpanjang maksimal dua kali lewat keputusan presiden.
Menurut Ketua Baleg DPR RI Supratman Andi Agtas, perpanjangan batas usia pensiun dalam revisi UU TNI sama dengan batas usia pensiun ASN.
Usulan perubahan lain juga ditemukan pada pasal 47 Ayat 2 RUU TNI mengenai jabatan yang bisa diemban prajurit aktif.
Jika dibandingkan dengan isi pasal sebelum usulan perubahan, terdapat penambahan frasa "serta kementerian/lembaga lain yang membutuhkan tenaga dan keahlian prajurit aktif sesuai dengan kebijakan Presiden."
Prajurit TNI yang memegang jabatan sipil tetap didasarkan pada kebutuhan kementerian dan badan pemerintah.
Koordinator Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Dimas Bagus Arya kepada wartawan menjelaskan, substansi perubahan yang diusulkan oleh pemerintah bukannya memperkuat agenda reformasi TNI yang telah dijalankan sejak tahun 1998, tapi justru malah sebaliknya.
Menurutnya, ini semakin membuka celah lahirnya dwifungsi TNI yang membuat tentara jauh dari kata profesional sehingga tidak efektif melakukan fungsi-fungsi yang memang menjadi amanatnya.
"Ini kemudian semakin berpotensi banyak terjadi penyalahgunaan wewenang dan juga penyalahgunaan kekuasaan akan semakin tinggi," ujar Dimas.
Kementerian Sekretariat Negara sudah menerima draf revisi Undang-Undang TNI dan Undang-Undang Polri. Draf tersebut masih dalam kajian untuk proses selanjutnya.
"Saat ini masih dalam penelaahan untuk proses selanjutnya," ujar Stafsus Presiden Jokowi Bidang Hukum, Dini Purwono, pada Jumat (13/06) lalu.
RUU POLRI
Perubahan usia dinas yang sama diusulkan dalam RUU Polri, sehingga anggota kepolisian bisa berdinas hingga usia 60 tahun sementara polisi yang menduduki jabatan fungsional dapat bekerja sampai 65 tahun, dan perwira tinggi bintang empat diusulkan dapat diperpanjang masa dinasnya maksimal dua kali lewat keputusan presiden.
Kewenangan Polri juga diusulkan diperluas dalam RUU Polri. DPR mengusulkan penambahan tugas pokok kepolisian yang diatur dalam Pasal 14.
Kawasan yurisdiksi Polri di Pasal 6 juga ditambah hingga wilayah perwakilan RI di luar negeri yang punya kekebalan diplomatik, kapal laut berbendera Indonesia di laut internasional, pesawat udara teregistrasi dan berbendera Indonesia, serta ruang siber.
Pada Pasal 16 huruf q usulan UU Polri disebut bahwa kepolisian bisa mengajukan pelambatan, pemutusan hak akses hingga pemblokiran dalam proses pidana.
"Melakukan penindakan, pemblokiran atau pemutusan, dan upaya perlambatan akses ruang siber untuk tujuan keamanan dalam negeri berkoordinasi dengan kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang komunikasi dan informatika dan/atau penyelenggara jasa telekomunikasi," bunyi pasal tersebut.
Dalam pernyataannya, Koalisi Masyarakat untuk Reformasi Kepolisian menilai campur tangan Polri dalam tindakan membatasi Ruang Siber ini akan semakin mengecilkan ruang kebebasan berpendapat dan berekspresi publik, khususnya di isu-isu yang mengkritik pemerintah.
Selain itu, disebutkan hadirnya pengawasan secara eksesif pada ruang siber juga berpotensi melanggar hak privasi warga negara, serta hak untuk memperoleh informasi, serta berpotensi menyebabkan tumpang tindih kewenangan dengan lembaga negara seperti Kementerian Komunikasi dan Informatika serta Badan Sandi dan Siber Negara (BSSN).
Menurut koalisi yang terdiri dari sejumlah organisasi masyarakat sipil seperti YLBHI, SAFEnet, ICW, dan ELSAM ini, RUU Polri rentan penyalahgunaan wewenang dalam penyadapan; dan mendekatkan Polri sebagai lembaga superbody.
RUU Kementerian Negara
Rapat pleno Badan Legislasi atau Baleg DPR juga telah menyepakati pengambilan keputusan atas hasil penyusunan revisi Undang-Undang Kementerian Negara menjadi usul inisiatif DPR.
Salah satu poin yang diubah adalah perubahan Pasal 15 UU Kementerian Negara mengenai jumlah kementerian paling banyak 34 orang.
Pasal yang sebelumnya berbunyi "jumlah keseluruhan kementerian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12, Pasal 13, dan Pasal 14 paling banyak 34 (tiga puluh empat)", diubah menjadi "ditetapkan sesuai dengan kebutuhan presiden dengan memperhatikan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan."
Artinya, presiden bisa bebas menetapkan berapa jumlah kementeriannya.
Pakar hukum dari Universitas Andalas, Feri Amsari, menilai perubahan Undang-undang Kementerian Negara yang hanya mengubah jumlah kementerian ini sarat kepentingan politik pemerintahan Prabowo Subianto yang dikabarkan menginginkan penambahan menjadi 40 kementerian.
Selain agenda politik pemerintahan mendatang, Feri mengaku tidak menemukan urgensi lain perubahan undang-undang ini.
"Sebetulnya tidak ada perubahan yang perlu dilakukan terhadap UU Kementerian Negara ... sudah berkali-kali presiden menggunakannya, jadi ini alasan saja untuk bagi-bagi kue kekuasaan," tutur Feri.
Revisi UU Mahkamah Konstitusi
Pemerintah dan DPR telah menyepakati rancangan Undang-undang tentang Perubahan Keempat atas UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi atau RUU MK.
Pembahasan RUU MK itu disebut digelar diam-diam digelar pada hari terakhir reses pada Mei lalu.
Dalam revisi tersebut, masa jabatan hakim konstitusi diubah dalam Pasal 23A yang mengatur masa jabatan hakim MK yakni 10 tahun.
Sementara Pasal 87 mengharuskan hakim yang telah lima tahun menjabat untuk mendapat persetujuan ulang dari lembaga pengusung agar bisa melanjutkan jabatannya hingga 10 tahun.
Tiga lembaga yang berhak mengusulkan pencalonan hakim MK adalah baik DPR, Presiden, dan Mahkamah Agung.
Hakim yang telah 10 tahun menjabat harus mendapat persetujuan serupa agar bisa meneruskan jabatan sampai usia pensiun.
Ketua Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi atau Ketua MKMK,I Dewa Gede Palguna, mengatakan perubahan regulasi soal masa jabatan itu mengancam independensi hakim karena harus mendapatkan persetujuan dari lembaga pengusul di tengah masa jabatan.
Menurut Palguna, para hakim berpotensi membuat putusan yang selalu menguntungkan lembaga pengusulnya.
"Karena kalau Anda tidak ‘baik-baik’ di lima tahun berkuasa menjadi hakim konstitusi, walaupun ayat 1 mengatakan masa jabatan 10 tahun, ‘kami punya kewenangan loh untuk mengeluarkan Anda, kami mempunyai kewenangan untuk mengganti Anda dengan hakim yang baru’. Kan seolah-olah mau menyampaikan begitu," kata Palguna.
Selain keempat RUU di atas, ABC Indonesia juga pernah menulis laporan tentang RUU Penyiaran yang ditolak oleh sejumlah unsur masyarakat.
Legitimasi demokrasi yang dipertanyakan
Selain secara substansi yang telah dibahas sebelumnya, perubahan undang-undang tersebut dianggap bermasalah secara prosedural.
Sejumlah pakar dan akademisi rata-rata senada dalam meniliai revisi beberapa undang-undang yang dianggap dilakukan secara diam-diam, terburu-buru, dan minim partisipasi publik.
Ketua Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi atau Ketua MKMK, I Dewa Gede Palguna, misalnya, mengaku tak habis pikir mengapa revisi UU MK itu dibahas saat masa reses.
Proses tersebut menurutnya patut dipertanyakan mengingat tak semua anggota DPR mengetahuinya, sebagian besar bahkan sedang berada di luar negeri.
"Saya juga tidak tahu bagaimana proses pembahasannya dan siapa saja yang hadir," kata Taufik Basari dari Fraksi Nasdem yang dikutip dari BBC Indonesia.
Saat RUU MK dibahas, ia sedang berada di Portugal untuk kunjungan kerja di luar negeri.
Ahli hukum dari Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Profesor Aan Eko Widiarto, mengatakan pada masa lame duck (bebek lumpuh) DPR dan Presiden seharusnya tidak melakukan pembahasan dan mengesahkan RUU yang krusial bagi kekuasaan kehakiman.
Pemanfaatan momentum lame duck session oleh para politisi ini menurut Azeem akan membuat preseden buruk, karena "rancangan undang-undang yang belum tuntas bisa disegerakan tanpa partisipasi publik karena mereka sudah tak lagi terpilih dan tidak memiliki tanggung jawab apa pun pada konstituen."
Azeem mengatakan hal inilah yang mendorong mereka untuk mengeluarkan kebijakan-kebijakan hukum yang tidak demokratis, hanya untuk merealisasikan agenda politik mereka.
ia menambahkan penghapusan, atau setidaknya pengaturan lame duck session harus dilakukan untuk memperpendek masa tunggu.
Salah satunya adalah dengan memajukan tanggal pelantikan, agar mempersingkat jeda sehingga memperkecil kemungkinan pemanfaatan jeda waktu untuk mengesahkan undang-undang yang bertentangan dengan prinsip demokrasi.